Ketika Kecepatan Menjadi Takdir: Kisah Stenly ‘Ungke’ Mamuaja

Di antara kabut dingin dan sejuknya udara pegunungan, nama Stenly Tony Mamuaja telah lama menjadi cerita dari mulut ke mulut di dunia sepak bola Sulawesi Utara. Ia bukan sekadar pemain. Ia adalah kisah tentang kerja keras, keteguhan hati, dan perjalanan panjang seorang anak Tomohon yang menapaki jalannya menuju legenda.

Lahir di Tomohon pada 29 Maret 1977, dari pasangan Hanny Mamuaja dan Marie Supit, Stenly adalah anak pertama dari dua bersaudara. Sejak kecil, semangatnya untuk berlari sudah tampak jelas. Ia menempuh pendidikan di SD Santa Clara, SMP Negeri 1 Tomohon, dan SMA Kristen Tomohon.

Awalnya, dunia Stenly bukan sepak bola melainkan atletik dan bola voli. Tahun 1992, saat duduk di bangku SMP, ia menjuarai lari 5 kilometer antar sekolah se-Kecamatan Tomohon, lalu meraih juara 3 di kategori yang sama saat SMA. Namun nasib ternyata telah menyiapkan jalan lain.

Tahun 1993, diadakan turnamen sepak bola mini antar klub di Desa Paslaten, Kecamatan Tomohon (saat itu belum menjadi kota). Seorang sahabatnya, Reza Suratinoyo, mengajaknya bergabung dengan tim Desa Talete. Awalnya, ia ditempatkan sebagai penjaga gawang.

Namun menjelang sebuah laga antar desa, ayahnya yang dikenal tegas, Om Hae, menegurnya dengan kalimat yang masih diingat Stenly hingga kini:

“Susah-susah Papa belikan sepatu bola, kenapa kamu cuma main sebagai penjaga gawang? Lebih baik kamu pulang.”

Dorongan itu membuat teman-temannya menempatkan Stenly di posisi sayap kanan. Dari situlah, kecepatan langkahnya menarik perhatian Coach Arie Kusoy, pelatih sepak bola ternama yang kebetulan menonton pertandingan itu. Arie melihat potensi luar biasa dalam diri anak muda tersebut, kecepatan, determinasi, dan naluri menyerang yang alami.

Coach Arie kemudian mengajak Stenly mengikuti seleksi Persmin Minahasa yang akan tampil di Liga 3 di Kendari. Dari tiga pemain asal Tomohon yang ikut seleksi, hanya Stenly yang lolos. Sejak saat itu, jalur profesionalnya terbuka lebar.

Tahun 1995, ia lolos seleksi Pra PON, dan terus melangkah hingga tampil di PON 1996, di mana Sulawesi Utara meraih medali perunggu. Setelah PON, ia bergabung dengan Persma Manado (1997) dan menjadi bagian dari skuad yang membawa tim kebanggaan Sulut itu ke puncak klasemen wilayah timur Liga Kansas, sebelum liga tersebut dihentikan.

Di tahun yang sama, ia juga sempat mengikuti seleksi Timnas Pra Piala Asia, menandai puncak awal kariernya sebagai pemain berbakat dari Nyiur Melambai.

Tahun 2000, Stenly bergabung dengan Persijatim Jakarta Timur, dan dua tahun kemudian kembali memperkuat Persma DSP.
Masih di tahun 2002, pelatih Ronny Pangemanan (Ropan) memanggilnya masuk dalam Timnas Futsal Indonesia pertama, sebuah momen bersejarah dalam perjalanan futsal Tanah Air.

Ia sempat memperkuat Perseden Denpasar, lalu Arema Malang (2003). Bersama Singo Edan, Stenly turut membawa tim menjuarai Divisi 1 setelah sempat terdegradasi dari kasta utama. Sebuah pencapaian yang ia kenang sebagai salah satu titik tertinggi dalam kariernya.

Musim 2004–2005, Stenly kembali ke Persmin Minahasa, klub yang pernah membesarkan namanya. Namun di sana pula ia mengalami masa sulit. Ia sempat berselisih dengan manajemen karena menolak sebuah keputusan yang dianggapnya tidak adil, hingga akhirnya dikeluarkan dari tim.

Musim berikutnya, 2005–2006, ia sempat membela Mitra Kukar, sebelum akhirnya kembali ke Persma Manado atas ajakan Ronny Pangemanan. Bersama Persma, ia membawa tim kembali promosi ke Divisi Utama.

Tahun 2006, Stenly mendapat tawaran kontrak dari Persigo Gorontalo, tapi ia menolak karena dua rekannya tidak jadi dikontrak.

“Saya tidak tega bermain tanpa mereka. Kami sudah satu perjuangan,”kenangnya kemudian.

Tahun 2008, Stenly bergabung dengan PSIR Rembang. Namun saat menghadapi Persibom Bolaang Mongondow, terjadi insiden di lapangan yang berujung tuduhan pemukulan wasit. Ia sempat disebut mendapat sanksi seumur hidup dari PSSI.

Stenly membantah keras tuduhan itu, dan berupaya melakukan klarifikasi langsung ke PSSI.
Bertahun-tahun kemudian, hasilnya jelas, tidak pernah ada sanksi resmi yang dijatuhkan kepada dirinya.

Kebenaran itu terbukti pada tahun 2012, ketika Stenly kembali merumput bersama PSKT Tomohon, klub kebanggaan daerahnya yang saat itu bermain di Divisi 1.
Kepulangannya disambut hangat, bukan sekadar oleh penonton, tapi oleh sejarah yang seolah memberi kesempatan kedua bagi sang legenda.

Setelah pensiun dari lapangan profesional, Stenly memilih untuk mengabdi melalui pembinaan usia muda di Kota Tomohon. Kini, ia melatih anak-anak di sekolah sepak bola, menanamkan disiplin dan semangat yang dulu membentuknya.

Tahun 2024, tim asuhannya bahkan mewakili Sulawesi Utara di ajang Gala Siswa Indonesia, menandakan bahwa api sepak bola Tomohon masih menyala, lewat tangan dan hati yang sama: Stenly “Ungke” Mamuaja.

Dalam setiap kisah yang ia ceritakan, Stenly selalu menyebut nama-nama yang ia anggap berjasa. Arie Kusoy, Fredy Malonda, Efie Orah, Jopy Mandey, Tonny Salawati, Uthe Talib, dan banyak sahabat lainnya. Ia tahu, perjalanan panjangnya tak mungkin terjadi tanpa mereka.

Kisah hidup Stenly Mamuaja bukan hanya perjalanan seorang atlet. Ia adalah pelajaran tentang kejujuran, keteguhan, dan keyakinan bahwa kebenaran selalu menemukan jalannya.

Dari lintasan lari kecil di Tomohon hingga lapangan-lapangan besar di Indonesia, Stenly membuktikan bahwa legenda sejati tak diukur dari lamanya sorak penonton, tapi dari seberapa lama semangatnya bertahan di hati banyak orang.

Penulis : Jemmy Junior